Perkembangan Moral

Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Moral (1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut:

1. Tingkat Pra Konvensional

Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:

Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan

Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas

Tahap 2 : Orientasi Relativis-instrumental

Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.

2. Tingkat Konvensional

Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :

Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”

Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.

Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban

Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.

3. Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)

Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:

Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial Legalitas

Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.

Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal

Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.

Berdasarkan penelitian empirisnya tersebut, secara kreatif Kohlberg menggabungkan berbagai gagasan dari Dewey dan Piaget, bahkan berhasil melampaui gagasan-gegasan mereka. Dengan kata lain ia berhasil mengkoreksi gagasan Piaget mengenai tahap perkembangan moral yang dianggap terlalu sederhana.Kohlberg secara tentatif menguraikan sendiri tahap-tahap 4, 5 dan 6 yang ditambahkan pada tiga tahap awal yang telah dikembangkan oleh Piaget. Dewey pernah membagi proses perkembangan moral atas tiga tahap : tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom. Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan menggolongkan seluruh pemikiran moral anak seperti kerangka pemikiran Dewey, : (1) pada tahap pramoral anak belum menyadari keterikatannya pada aturan; (1) tahap konvensional dicirikan dengan ketaatan pada kekuasaan; (3) tahap otonom bersifat terikat pada aturan yang didasarkan pada resiprositas (hubungan timbal balik). Berkat pandangan Dewey dan Piaget maka Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap pertimbangan moral anak dan orang muda seperti yang tertera di atas.

Hubungan antara tahap-tahap tersebut bersifat hirarkis, yaitu tiap tahap berikutnya berlandaskan tahap-tahap sebelumnya, yang lebih terdiferensiasi lagi dan operasi-operasinya terintegrasi dalam struktur baru. Oleh karena itu, rangkaian tahap membentuk satu urutan dari struktur yang semakin dibeda-bedakan dan diintegrasikan untuk dapat memenuhi fungsi yang sama, yakni menciptakan pertimbangan moral menjadi semakin memadai terhadap dilema moral. Tahap-tahap yang lebih rendah dilampaui dan diintegrasikan kembali oleh tahap yang lebih tinggi. Reintegrasi ini berarti bahwa pribadi yang berada pada tahap moral yang lebih tinggi, mengerti pribadi pada tahap moral yang lebih rendah.

Selanjutnya penelitian lintas budaya yang dilakukan di Turki, Israel, Kanada, Inggris, Malaysia, Taiwan, dan Meksiko memberikan kesan kuat bahwa urutan tahap yang tetap dan tidak dapat dibalik itu juga bersifat universal, yakni berlaku untuk semua orang dalam periode historis atau kebudayaan apa pun.

Menurut Kohlberg penelitian empirisnya memperlihatkan bahwa tidak setiap individu akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas saja, yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan angka inipun masih diragukan kemudian. Diakuinya pula bahwa untuk sementara waktu orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebut sebagai “regresi fungsional”. Nah, dimana tingkatan moral anda?

Category: 0 komentar

Pengertian Kerja Cerdas

Menjadi Lebih Produktif

Apa yang terlintas di benak kita saat mendengar istilah kerja cerdas? Ada yang mengartikan bahwa kerja cerdas itu adalah sebuah model kerja di mana seseorang melakukan pekerjaan sedikit tapi hasilnya besar. Berangkat kerja tanpa terikat pada aturan atau jam kerja formal atau berbisnis jarang-jarang tetapi sekali mendapatkan untung, untungnya cukup untuk dinikmati berbulan-bulan atau cukup untuk sekian minggu ke depan.

Orang yang berpendapat demikian mungkin menganut teori Paretto yang 80/20 itu (The law of imbalance). Kalau merujuk teori ini, berarti 80 % penghasilan orang itu dihasilkan dari 20 % aktivitas kerja / bisnisnya. Aktivitasnya hanya 20 % tapi penghasilannya 80 %. Mungkin, karena orang seperti itu sudah lihai dalam membidik peluang, maka terwujudlah kerja cerdas dalam pengertian seperti di atas.

Terus terang, meski pengertian di atas sering saya dengar dalam pembicaraan, tetapi dalam prakteknya masih jarang saya lihat. Saya tidak tahu apakah Anda juga punya pengalaman seperti saya atau tidak. Yang kerap kita jumpai, kalau ada orang yang mendapatkan hasil banyak, orang itu juga bekerja banyak. Konon, Bill Gate yang dikenal orang pintar dan orang kaya, punya jam kerja yang jauh lebih banyak dibanding dengan karyawannya. Cuma bedanya, Bill Gate tidak merasakan pekerjaannya sebagai tekanan yang membebani.

Tak hanya Bill Gate saja. Di beberapa stasiun teve sekarang ini kerap ditayangkan sukses stori para pengusaha lokal, baik UKM atau Non-UKM. Sejauh saya mengikuti sampai saat ini memang saya belum pernah mendengar dari mereka yang mengatakan bahwa prestasi usahanya itu diciptakan dari model kerja cerdas dalam pengertian di atas. Yang sering mereka katakan justru adalah prinsip mendasar yang umumnya sudah diketahui banyak orang, misalnya: jujur, disiplin, bekerja keras, menjaga kepercayaan, dan semisalnya.

Terlepas apapun orang mengartikan kerja cerdas, tapi di sini kita akan membahas kerja cerdas dalam pengertian: bagaimana kita bisa menjadi lebih produktif dengan alokasi waktu kerja yang sama atau dengan menggunakan peralatan yang sama. Atau dalam pengertian: bagaimana kita bisa memproduksi solusi (barang atau jasa) yang lebih banyak atau lebih cepat dalam waktu yang sama dengan menggunakan peralatan yang sudah kita miliki.

Mungkin contoh beratnya bisa kita ambil dari hasil kerja Frederick W. Taylor pada tahun 1911. Seperti yang sudah jamak diketahui, Taylor adalah seorang insinyur yang bekerja di pabrik. Taylor tidak puas dengan produktivitas para pekerja yang sangat rendah kala itu. Melihat keadaan seperti itu, Taylor menawarkan revolusi mental yang kemudian dikenal dengan 4 prinsip manajemen.

Sebagai bahan perbandingan buat kita, Taylor menawarkan solusi antara lain:

a) Mengembangkan metode, konsep, atau ilmu pengetahuan tentang bagaimana mengerjakan pekerjaan dari pekerjaan itu atau memunculkan teori aplikasi yang terbaik dari pekerjaan yang dilakukan

b) Memilih dan melatih para pekerja dengan pertimbangan dan keputusan yang logis,

c) Menciptakan komunikasi yang sinergis antara manajemen dan pekerja

d) Pembagian kerja dan tanggung jawab yang tegas.

Berdasarkan kondisi dan situasi kontekstual kala itu, konon revolusi mental yang ditawarkan Taylor ini berhasil meningkatkan produktivitas pekerja sampai mencapai 200 %. Menggiurkan, bukan? Atas keberhasilan yang dicapai, Taylor kemudian diberi gelar Bapak Manajemen Ilmiah.

Contoh yang ringan bisa kita ambil dari kebiasaan sehari-hari. Ketika bicara produktivitas, pasti berbeda antara orang yang bekerja dengan target di kepalanya dan orang yang bekerja tanpa ada target di kepalanya. Pasti berbeda antara orang yang bekerja dengan mengembangkan tehnik dan orang yang bekerja dengan tanpa mengembangkan tehnik. Pasti berbeda antara orang yang bekerja dalam keadaan marah dan orang yang bekerja dalam keadaan happy. Pasti berbeda antara orang yang bekerja berdasarkan prioritas dan orang yang bekerja asal-asalan. Pasti berbeda antara orang yang bekerja dengan konsep dan orang yang bekerja tanpa konsep. Bahkan terkadang ada bedanya antara kita bekerja dengan menelpon orang lebih dulu dan bekerja lebih dulu baru menelpon orang. Ini contoh riil yang kita alami sehari-hari.

Intinya, seperti kata orang bijak, di semua pekerjaan di dunia ini ada rahasia Tuhan. Rahasia itu jika semakin kita gali tidak berarti semakin habis. Justru rahasia itu semakin bertambah. Bahkan rahasia itu tidak akan habis ditulis dengan tinta air laut. Ini terjadi dari mulai bagaimana seorang pelayan diskotik menuangkan minuman dari botol ke gelas dengan gayanya yang khas sampai ke bagaimana seorang arsitek merancang bangunan bertingkat. Tugas kita adalah sebetulnya menggali rahasia-rahasia itu sehingga kita bisa selalu meningkatkan produktivitas.

Dengan bertambahnya kemampuan untuk memproduksi solusi yang lebih besar dan lebih cepat, maka secara logis ini akan meningkatkan penghasilan kita. Soal berapa persennya dan kapan peningkatan hasil itu akan terwujud, ini urusan tehnis. Tapi prinsipnya kira-kira begitu.

Syarat menjadi lebih produktif

Beberapa syarat mental di bawah ini sebenarnya adalah tambahan dari yang sudah kita miliki berdasarkan pengalaman sehari-hari. Atau bahkan mungkin sebatas sebagai reminder (pengingat) atas hal-hal mendasar yang kerap kita lupakan dalam praktek. Nah, syarat mental yang perlu kita miliki untuk mencapai kerja cerdas dalam pengertian yang kita bahas di sini adalah:

Mengembangkan standar prestasi yang pas

Pas di sini artinya memiliki standar yang match atau sesuai dengan perkembangan kita hari ini. Seperti yang kita alami, jika standar yang kita patok itu terlalu rendah, biasanya produktivitas kita juga rendah. Tapi, jika terlalu tinggi atau terlalu banyak, biasanya malah bingung atau malah sedikit hasilnya. Karena itu ada yang menyarankan, little is more and more is little.

Dengan kata lain, supaya tetap produktif, berarti kita perlu memberi standar yang benar-benar pas dengan dinamika perkembangan kita. Jangan terlalu rendah atau jangan terlalu sedikit. Tapi, jangan juga terlalu tinggi atau jangan terlalu banyak.

Mengasah kreativitas

Kreatif atau tidak kreatif, pada akhirnya adalah masalah manajemen batin. Suasana atau fasilitas memang mendukung kreativitas, tapi jika batin ini tidak kreatif, fasilitas dan suasana itu tidak ada gunanya. Mengasah kreativitas ini bisa kita lakukan dengan menyediakan ruang untuk menemukan berbagai kemungkinan untuk menciptakan metode, cara atau tehnik baru yang lebih efektif dan lebih efisien dan yang membuat kita menjadi lebih produktif.

Soal apa bentuknya, bagaimana caranya dan lain-lain, ini urusan kita masing-masing. Ini mengingat, biasanya, the best tehnique is always not in the book. Tehnik, metode atau cara yang kita dapatkan dari orang lain atau dari buku, ini umumnya sebagai “an aid” atau bantuan buat kita untuk melakukan discovery atau eksplorasi.

Menajamkan fokus

Produktivitas sangat erat hubungannya dengan soal fokus. Fokus, karena itu merupakan kekuatan. Contoh sepele, misalnya: jika kita melihat benda di depan mata tetapi pikiran kita tidak fokus, maka produktivitas penglihatan kita juga tidak bagus. Ini terjadi sampai ke hal-hal yang sangat mendasar dalam hidup manusia.

Jika seseorang memfokuskan pikirannya untuk melihat masalah, maka yang menjadi kesimpulan di batinnya adalah masalah. Sebaliknya, jika seseorang memfokuskan pikirannya untuk melihat peluang, maka yang menjadi kesimpulan di batinnya tentang dunia ini adalah peluang. Meski awalnya ini adalah soal kesimpulan di batin, tetapi pada tahapan tertentu akan mempengaruhi tindakan dan produktivitasnya.

Saking eratnya hubungan antara produktivitas dan fokus, teori manajemen sampai mengajarkan kita untuk membagi aktivitas menjadi:

a) prioritas

b) penting

c) mendesak

d) distraksi

Jika kita gagal membedakan antara prioritas dan distraksi (aktivtas yang tidak prioritas, tidak penting dan tidak mendesak), pasti fokus pikiran kita kacau. Kalau sudah kacau, produktivitas kita pun akan terancam.

Menggali Tacit knowledge

Istilah Tacit Knowledge ini bisa kita jumpai di naskah kerja Robert J. Stenberg, pakar Psikologi di Yale University. Ini adalah semacam pengetahuan spesifik tentang sesuatu yang diperoleh seseorang dari praktek. Tacit Knowledge ini punya ciri khas antara lain:

Pengetahuan itu adalah sebuah prosedur di dalam diri seseorang tentang bagaimana sesuatu harus dikerjakan

Pengetauan itu merupakah buah dari melakukan sesuatu, bukan buah dari diajar orang lain

Pengetahuan itu bersifat sangat pribadi

Seorang sopir yang sudah berpengalaman, pasti memiliki prosedur batin tentang bagaimana menjalankan kendaraan yang diajarkan oleh pengalamannya. Prosedur batin itu biasanya tidak dimiliki oleh seoran sopir yang baru lulus dari sekolah montir. Kita sering menyebutnya dengan istilah “feeling” atau gerakan reflek, atau juga disebut beyond the technique.

Kaitannya dengan produktivitas di sini sangat jelas. Seorang sopir yang sudah bekerja dengan feeling tadi, pasti lebih produktif. Dia lebih tahan lama, lebih rileks, dan lebih cepat. Saya kira ilustrasi ini juga bisa kita terapkan dalam pekerjaan sehari-hari.

Menjaga harmonitas

Seperti juga alam raya ini, hidup kita akan produktif kalau hormonitasnya terjaga, serasi atau seimbang. Belajar dari praktek hidup, mayoritas penyakit yang merupakan ancaman produktivitas, entah itu penyakit jiwa atau raga, mulanya muncul dari pengabaian kecil (ignorance) yang kemudian menimbulkan ketidakhamonisan, atau ketidakseimbangan ke hampir seluruh wilayah hidup.

Contohnya adalah kurang tidur. Ketika kita kurang tidur, yang terjadi bukan hanya kita butuh tidur di siang hari sebagai pengganti waktu tidur yang telah kita gunakan untuk yang lain. Kurang tidur yang sudah sampai pada tingkat overdosis, bisa menganggu hubungan kita dengan pekerjaan, dengan orang lain, dan seterusnya, yang akhirnya mengakibatkan produktivitas rendah.

Perlindungan batin

Batin di sini, tidak bisa kita samakan dengan emosi. Melindungi batin, bukanlah melindungi emosi. Kalau konteksnya produktivitas, batin kita perlu dilindungi dari kotoran yang menganggu produktivitas. Biasanya, kotoran itu adalah masalah yang kita ciptakan sendiri secara tidak sengaja atau masalah yang didatangkan orang lain untuk kita – yang tidak kita oleh menjadi vitamin batin. Maksudnya ? Kita sering mendengar ucapan, kritik atau pun pendapat orang lain yang tidak enak mengenai diri kita, cara kerja maupun hasil pekerjaan kita.

Kita bisa saja menganggapnya sebagai sampah yang mengotori batin dan harus dibuang, atau menanggapnya sebagai warning signal – atas sesuatu di dalam diri yang perlu kita renungkan. Kalau kita mau belajar dan bertumbuh, mata batin kita lah yang harus menangkap “kata-kata” yang ditujuan pada kita, bukan telinga kita. Mata batin, bisa melindungi kita dari self-denial (pengingkaran kenyataan diri). Kita bisa tutup telinga – tapi tidak bisa menutup mata batin. Kejernihan suara batin bisa menuntun kita bekerja cerdas, kalau kita mau mendengar tuntutannya.

Apa mungkin kita sanggup membersihkan batin dari masalah untuk sekedar menjadi lebih produktif? Kalau konteksnya praktek hidup, maksudnya yang lebih tepat bukanlah bersih dalam arti tidak ada masalah atau lari dari masalah. Selain mustahil, pun juga ini malah tidak produktif. Maksudnya adalah menyelesaikan masalah secara sehat, benar, jujur dan proporsional. Kalau kita proporsional dalam memikirkan, bersikap dan bertindak, maka produktivitas kita tidak terganggu dengan masalah yang ada.

Jika kita sedikit-sedikit sakit hati atau terlalu memasukkan hati ulah orang lain, dan tidak menjadikannya “obat pahit”, ini bisa mengganggu produktivitas. Batin kita akan bekerja untuk memikirkan orang lain dalam pengertian memikirkan yang tidak perlu, bukan memikirkan bagaimana memperbaiki dan mengembangkan diri, serta memproduksi solusi yang lebih banyak atau lebih cepat. Semoga bermanfaat !

Category: 1 komentar

Pemahaman Hidup Anda

Pemahaman anda (cara anda memandang dan mengerti akan segala sesuatu) adalah garis pembatas yang membentuk sebuah pigura di mana anda berada di dalamnya. Ruangan yang diluar garis pembatas tersebut adalah dunia dan isinya. Bagaimana anda memahami segala sesuatu tergantung sepenuhnya dengan ukuran pigura tersebut dibuat. Keterbatasan yang anda pahami sebagai takdir atau bukan takdir pada prakteknya lebih mengisyaratkan adanya keterbatasan anda memahami sesuatu yang anda ciptakan sendiri. Ketika pemahaman menyeluruh sudah anda dapatkan, maka secara otomatis keterbatasan tersebut hilang. Tentu keterbatasan yang dimaksud adalah keterbatasan dalam konteks kemanusiaan-duniawi. Ketika pemahaman sudah anda miliki, maka tugas anda adalah menentukan pilihan, bukan ditentukan.

Memahami bagaimana dunia dan isinya ini bekerja memiliki implikasi langsung pada situasi konkrit tertentu di dalam hidup anda, terutama berhubungan dengan kemajuan dan kemunduran atau kesuksesan dan kegagalan. Oleh karena itu pemahaman perlu disempurnakan atau didinamiskan menurut perkembangan situasi yang anda hadapi. Kuncinya adalah menerima perubahan dunia dari satu titik ke titik berikutnya sebagai materi untuk mengembangkan diri alias memperluas ukuran pigura anda.

Alasannya sangat mendasar ketika pemahaman anda tentang obyek kehidupan ini stagnant sementara realitas eksternal dinamis maka pemahaman anda mandul alias tidak bekerja menciptakan kemajuan melainkan jalan di tempat. Dari sinilah awal dari semua yang anda namakan problem, yaitu ketika pemahaman konseptual tidak lagi sejalan dengan realitas eksternal. Gap tersebut menciptakan sikap yang membenarkan kenyataan secara pasif atau sikap menyatakan kebenaran yang bertentangan dengan kebenaran lain.

Dalam rangka menciptakan pemahaman yang sinergis dengan perkembangan situasi, maka terlebih dahulu anda perlu memahami dari mana pemahaman hidup anda diciptakan. Dengan mengetahui sumber-sumber pemahaman dan memahami bagaimana cara kerjanya, maka jalan untuk mengauditnya akan terbuka lebar. Berikut adalah sebagian dari sumber dominan di mana anda memperoleh pemahaman hidup dan bagaimana individu dapat mengaplikasikannya ke dalam situasi konkrit.

1. Hukum Universal

Hukum Universal mengandung kebenaran yang diartikulasikan ke dalam pesan-pesan moral yang sifatnya generally applicable (berlaku umum). Selain itu, hukum tersebut juga merupakan kebenaran mutlak yang tidak memberi hak siapa pun untuk mengubahnya. Institusi yang paling banyak mengungkapkan kebenaran tersebut adalah agama-agama, kepercayaan, tradisi, atau sebagian dari adat istiadat. Kebenaran mutlak jelas berupa kebenaran langit dan supaya dapat didistribusikan ke bumi ia membutuhkan tool atau alat bantu agar bisa menciptakan penafsiran, pemahaman, persepesi, paradigma mental, dan karakter behavioral.

Ketika sudah berbicara tool, pemahaman, interpretasi, atau paradigma, maka hakekatnya tidak berlaku lagi kemutlakan melainkan choice dan consequence (pilihan dan konsekuensi). Intinya hidup anda bukan dibentuk oleh kemutlakan tetapi pilihan, meskipun anda memilih meyakini kemutlakannya. Pertanyaannya, sejauhmana pilihan anda bekerja membentuk kemajuan secara positif? Jika pilihan anda tidak bekerja membentuk kemajuan positif tidak berarti kandungan kemutlakan dari kebenaran langit telah berkurang, tetapi tool anda yang sudah kadaluwarsa sehingga ia bukan software yang memberi support tetapi virus yang menjadi penghambat. Maka tugas anda adalah mengganti kelayakan alat bantu yang telah dipilih agar dapat menghasilkan pemahaman hidup yang produktif atau sinergis dengan situasi hidup anda.

Lalu, bagaimana memilih tool yang produktif? Tool yang masih berupa mitos dalam arti menafikan proses-proses ilmiah dan alamiah yang menjadi ciri khas ilmu dan tehnologi terbukti tidak memiliki daya ledak tinggi untuk meruntuhkan konstruksi realitas, bahkan terjadi seakan-akan missing-link dengan realitas. Sehingga misi kebenaran langit yang mestinya untuk memperbaiki manusia justru membelenggunya. Tidak heran jika terjadi fenomena di mana seseorang menggunakan ajaran agama saat beribadah tetapi ketika mencari makan ia menggunakan ajaran komunisme atau atheisme. Agama, ajaran moral – dipahami - tidak mendukungnya untuk menjadi kaya.

2. Hukum Personal

Di dalam diri anda sebagai “the person” yang utuh telah diciptakan dua kekuatan yang berlomba merebut posisi kepemimpinan atas kehidupan anda. Kekuatan pertama berupa The Self dan kedua berupa The Ego. The Self adalah kekuatan yang memberi instruksi agar anda memahami diri, menjadi diri dan menjadi master bagi diri anda: "To Know, To become, dan Tobe”. Dialah yang menciptakan pemahaman bahwa kehidupan eksternal ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan internal. The Self berbicara tentang sesuatu yang sebenarnya anda kehendaki dan menjadi hak sehingga dalam banyak redaksi doa, The Self adalah permohonan tentang kehidupan surga.

Tidak demikian halnya dengan The Ego. Kekuatannya berupa instruksi untuk mendorong anda menyerahkan naskah hidup asli kepada pihak lain dengan kompensasi anda menggunakan naskah hidup mereka. Kekuatan inilah yang menyuntikkan drug bahwa kehidupan eksternal tidak dipandu oleh kekuatan internal sehingga pada gilirannya sang diri hilang, lenyap tanpa kekuatan dan suara. The Ego adalah bentuk ketergantungan terhadap kekuatan eksternal. Ia adalah bentuk penghindaran yang sering anda ucapkan dalam doa-doa.

Para ahli mendapatkan temuan bahwa mayoritas dari anda hanya menggunakan kekuatan minimal ketika urusannya berupa ‘menginginkan sesuatu’ dan baru bisa mengeluarkan secara maksimal ketika ‘menghindar dari sesuatu’, apalagi jika konsekuensinya hidup – mati. Dari temuan tersebut disimpulkan bahwa pembeda antara orang genius dengan orang biasa bukan terletak pada kadar potensi atau kemampuan yang diturunkan sejak lahir, tetapi bagaimana menggunakan kemampuan atau potensi tersebut dengan cara-cara tertentu dan maksimal (William W. Hewitt, 1994, dalam “The Truth About Mind Power").

Contoh nyata individu yang dapat dijadikan contoh dalam menggunakan potensi secara maksimal dengan cara-caranya yang khusus adalah Thomas A. Edison. Mungkin anda bertanya-tanya apakah makhluk seperti Edison atau para avatar lainnya sudah dicetak untuk berbeda dengan anda? Awalnya adalah sama. Ia tetap memiliki fluktuasi emosi antara kecewa dengan kegagalan dan bahagia dengan kesuksesan bahkan mungkin sempat putus asa. Bahkan sekolahnya Edison dikenal sebagai siswa yang tidak memiliki prestasi gemilang sehingga akhirnya sang guru bosan merawatnya. Lalu kekuatan apakah yang terus mendorongnya sehingga rintangan apapun tidak bisa menghambatnya? Kuncinya adalah menemukan cara bagaimana menggunakan mengeluarkan kekuatan The Self sebanding dengan kekuatan The Ego. Apa diraih Edison, tidak mustahil dapat juga diraih oleh anda seandainya etos kerja atau motivasi anda belajar menggunakan energi yang anda gunakan untuk bercinta? Jika ini yang terjadi maka pastilah akan muncul kegigihan yang tidak sanggup dibendung oleh diri anda sendiri.

Sayangngya dalam kehidupan nyata banyak individu yang lebih didominasi oleh kekuatan The Ego sehingga diri sendiri bukanlah sesuatu yang menjadi sumber segala kekuatan melainkan kekuatan eksternal atau dominasi pemahaman yang tidak produktif. Walhasil ancaman lebih punya peranan dominan ketimbang keinginan meraih sesuatu. Individu lebih terfokus pada menghindari kesengsaraan hidup ketimbang meraih kemakmuran; menciptakan kekhawatiran untuk dipecat ketimbang menciptakan prestasi kerja yang gemilang; mendewakan tahayul “jangan-jangan” ketimbang keyakinan untuk meraih kesuksesan, kesehatan, kebahagian, dst.

3. Hukum Lingkungan

Lingkungan diversikan ke dalam berbagai ungkapan bahasa mulai dari keluarga, saudara, relasi, persahabatan dan lain-lain di mana masing-masing memiliki instruksi berupa instruksi psikologis dan instruksi keadaan yang sifatnya ditawarkan. Andalah yang pada akhirnya menentukan keputusan itu meskipun sayangnya keputusan anda adalah keputusan dengan tidak memutuskan apapun. Di samping memiliki pengaruh di mana semua manusia tidak bisa melepaskannya, lingkungan juga memiliki standard asumsi, persepsi atau penilaian tentang bagaimana lingkungan tersebut melihat dunia. Seorang penakluk tembok raksasa China dieluk-elukan bagai raja ketika ia memasuki perkampungan di mana masyarakatnya punya penilaian seorang jagoan yang perkasa tetapi ketika ia memasuki kampung yang berbeda, ia dianggap orang gila : “Mengapa tembok sepanjang itu ia taklukkan?”.

Pendek kata, pemahaman anda tentang hukum lingkungan punya hubungan kausalitas dengan bagaimana anda ingin diperlakukan dan bagaimana anda memperlakukan orang lain. Jika levelnya keinginan, tentu saja anda menginginkan bentuk perlakuan terhormat atau sesuai dengan yang anda inginkan. Semua manusia bahkan hewan pun sama tetapi kuncinya terdapat pada pemahaman anda terhadap instruksi psikologis dan keadaan yang menciptakan perbedaam diametral antara anda dimanfaatkan dan dihormati; antara anda menjadi korban lingkungan dan menciptakan adaptasi.

Kenyataan yang sulit dipungkiri adalah bahwa anda membutuhkan lingkungan untuk menciptakan kemajuan hidup. Tetapi di sisi lain, anda memerlukan upaya membersihkan diri dari pengaruh yang diciptakan oleh pembawaan umum lingkungan yang bisa menjadi penghambat bagi kemajuan hidup anda. Pembawaan umum itulah yang oleh Samuel A. Malone dalam Mind Skill for Manager disebut Conformity yang menjadi ancaman kreativitas untuk merealisasikan keunggulan anda. Menurut Advance Dictionary, Conformity adalah "Action or behavior in agreement with what is usual, accepted or required by custom". Dengan kata lain, konformitas adalah ketakutan untuk menjadi diri sendiri yang berbeda dengan orang lain karena didorong oleh oleh keinginan untuk diterima oleh lingkungan.

Kualitas pemahaman instruksi lingkungan dengan begitu sebanding dengan kualitas kecerdasan bersikap saat anda menjatuhkan kartu hidup. Ketika anda larut ke dalam konformitas, maka bukan penghormatan yang akan anda terima, melainkan pemanfaatan. Saat itulah kebaikan yang anda berikan bisa jadi kebodohan yang anda lakukan. Bahkan lingkungan tidak memiliki makna kualitas apapun ketika anda tidak menemukan peluang belajar mengisi muatan pikiran sukses dari orang yang lebih atas; atau ketika anda tidak menemukan celah mengukur kemajuan dari orang yang sepadan; atau ketika anda tidak bisa membangun empati dari orang yang lebih rendah.

Dengan melihat dan memahami bagaimana hukum-hukum tersebut diatas berproses maka diharapkan anda dapat mengaudit pemahaman anda sehingga pigura anda semakin bertambah besar. Jika anda merasa memiliki pemahaman hidup yang keliru maka secepat mungkin mulailah mengubah cara pandang anda tersebut sebelum kekuatan eksternal mengambil alih kendali hidup anda. Selamat mencoba dan semoga berguna.

Category: 0 komentar

Merdeka atau Mati!

Lebih dari 58 tahun lalu, bangsa Indonesia pernah punya semboyan: Merdeka atau Mati! Dikaji lebih jauh, ternyata semboyan itu tidak sekedar punya arti lebih baik mati daripada tidak merdeka. Kalau dirujukkan pada hukum alam, semboyan itu juga punya arti pilihan hidup. Kalau kita tidak bisa hidup dengan kemerdekaan maka kita akan menjalani hidup dengan kematian. Bentuk kematian hidup itu apabila dirujukkan pada pendapat Robin S. Sharma adalah konflik-diri yang mengakibatkan potensi tidak bisa diaktualkan secara optimal. “Too many people die at 20 and are buried at 80. Too many people coast through life, never manifesting their potential and using only a fraction of their personal talents”. Ajaran kitab suci memberi istilah dengan hari kiamat di mana kebanyakan orang bertanya-tanya: “Mengapa nasib saya seperti ini?”

Secara harfiah, kemerdekaan adalah kemandirian hidup, kebebasan, dan ketegasan. Dalam kamus, kemerdekaan diartikan sebagai self governing, free from intimidation, acting or thinking upon one’s own-line. Kemerdekaan hidup seperti yang termaktub dalam teks proklamasi adalah hak (asasi). Menurut hukum sebab akibat hak adalah akibat yang diciptakan oleh sebab bernama kewajiban. Hukum alam menjadikan kewajiban sebagai syarat mutlak mendapatkan hak atau menyuruh mendahulukan kepatuhan terhadap kewajiban ketimbang mendahulukan tuntutan hak. Sayangnya kita secara mental-kultural lebih menomorsatukan hak dari pada kewajiban, minimalnya dalam ungkapan pembahasaan hidup harian. Mulut kita sudah terlatih mengucapkan hak dan kewajiban ketimbang kewajiban dan hak. Secara mindset kita lebih berat memikirkan apa yang tertinggal (dari hak) ketimbang memikirkan apa yang kita tinggalkan (dari kewajiban).

Kemandirian

Kemerdekaan adalah kemandirian (self governing) yang sering diartikan dengan kalimat berdiri di atas kaki sendiri. Kalimat itu mengisyaratkan bahwa orang yang mandiri itu adalah orang berdiri tegak dengan kakinya. Salah satu lawan kata dari berdiri-tegak adalah lari yang oleh Jalaluddin Rumi, diistilah dalam puisinya dengan kalimat lari dari kemauan bebas. “Seluruh makhluk melarikan diri dari kemauan bebas dan keberadaan-diri mereka menuju ke diri mereka yang tak sadar”. Kalau kita ingin bebas dengan mencari kebebasan maka sebenarnya yang telah kita lakukan adalah menciptakan belenggu karena kebebasan (kemauan bebas atau kemerdekan) adalah pencapaian dari usaha menciptakan diri / memandirikan diri. Lantas, apa yang sering mendorong orang ingin lari dari kemerdekaan untuk mencari kebebasan?

Akar penyebabnya adalah kekalahan atas musuh-diri di dalam sehingga ia tidak menjadi self governor. Musuh-diri itu menurut Jim Rohn dalam tulisannya berjudul “Facing the enemy within” (2002) umumnya ada lima, yaitu ketakutan (fear), kekhawatiran (worry), keragu-raguan (doubt), plin-plan (indecision), dan terlalu hati-hati (over-caution). Kalau ketakutan yang menang maka kita tidak menjadi pemberani padahal keberanian itu dibutuhkan. Kalau kekhawatiran yang menang, kita tidak menjadi orang yang bahagia dengan diri sendiri (happiness manufacture). Kalau keragu-raguan yang menang maka kita tidak menjadi orang yang yakin dengan kebenaran keyakinan. Kalau plin-plan yang menang maka kita tidak menjadi sosok yang telah kita putuskan. Demikian halnya kalau terlalu hati-hati yang menang maka kita tidak pernah menjadi orang yang sederhana, padahal biasanya the simple is the real

Kalau dikaitkan dengan pendapat Robin S. Sharma di atas, maka kemerdekaan diri itu tidak bisa dicari tetapi diciptakan dengan menjalani disiplin-diri untuk menemukan / menggunakan keunggulan (potensi). Hukum paradok yang berlaku di sini adalah kemerdekaan itu diperoleh dengan kepatuhan disiplin atau berdiri tegak bukan lari atau bebas dari disiplin. Alasannya, seluruh keunggulan manusia itu baru dapat ditemukan dan digunakan setelah menjalani disiplin pembelajaran untuk memperbaiki yang salah, menambah yang kurang dan menggunakan yang masih nganggur dalam kurun waktu yang tidak bisa secara one-off. Dikaitkan dengan pesan kitab suci di atas, kiamat duniawi itu disebabkan oleh pengabaian / tidak disiplin (indisipliner) untuk menjalani perbaikan yang dikiaskan hanya sekecil biji peluru tetapi akibatnya sebesar hidup merdeka dan hidup mati..

Bebas Intimidasi

Kemerdekaan adalah bebas dari intimidasi orang lain yang umumnya berupa intimidasi tanggung jawab (hutang) dan intimidasi tekanan (penjajahan) orang lain. Sudah menjadi titah alam kalau kita diberi jalan merealisasikan keinginan dengan menciptakan kesepakatan dengan orang lain. Sehebat apapun seseorang sebagai pribadi tetapi kalau tidak mendapatkan kesepakatan dengan orang maka kehebatan itu hanya sebatas hebat bagi diri sendiri. Seseorang dipanggil presiden, CEO perusahaan atau menjadi bawahan karena mendapat kesepakatan / dukungan dari / dengan orang lain. Bahkan oleh temuan survey dikatakan bahwa sebagian besar tawaran rasa bahagia dan nestapa terjadi dari interaksi, lalu sebagian kecilnya dari self accomplishment.

Cukup beralasan kalau Michael Angier berani mengatakan, sembilan puluh persen dari problem kemanusiaan adalah masalah ketaatan terhadap kesepakatan yang dibikin dengan orang lain. “Your agreement show your integrity . About 90 percent of world problem result from people do not keeping their agreement" (2002). Tentu maksud dari kata problem di sini adalah hilangnya kemerdekaan karena mencari kebebasan. Setiap kesepakatan yang kita ciptakan dengan orang lain pasti mengandung kontrak tanggung jawab baik secara psikologis atau juridis dan begitu tanggung jawab itu kita abaikan maka yang lahir adalah intimidasi. Tak salah, kalau pesan kenabian mengingatkan agar kita mengantisipasi kemungkinan adanya hutang (tanggung jawab) di mana resource untuk membayar tidak kita miliki.

Intimidasi memang dikeluarkan dari orang lain tetapi sebabnya diciptakan oleh bobot ketaatan kita atas kesepakatan. Kalau merujuk pada hukum daya tarik, sebenarnya jurus-hidup yang paling selamat adalah menarik orang lain (to attract) dengan menciptakan daya tarik-diri yang menarik ketertarikan. Pada dasarnya jurus ini lebih mudah kita jalankan hanya saja kebanyakan kita telah biasa lebih dahulu memulai dari start dengan menggunakan jurus yang sebaliknya: mendorong orang lain (to push). Jadi yang terjadi bukan tidak mampu melainkan sudah terlanjur salah memilih start. Meskipun salah tetapi masih sangat terlalu mungkin untuk diperbaiki dengan cara menaikkan kemampuan menaati (the ability of obedience) dan menurunkan janji sehingga masih tersisa peluang untuk memberi orang lain lebih dari sekedar yang kita janjikan. Di sini, musuh kita adalah nafsu untuk mengambil lebih banyak dari pemberian sedikit.

Bentuk intimidasi lain adalah penjajahan yang disebabkan oleh kelemahan (personal weakness). Jalan untuk memerdekakan diri dari penjajahan orang lain saat menjalin kesepakatan bukanlah lari menghindari melainkan, seperti disarankan oleh Charles Handy, memperkuat power. Ada tiga power yang bisa kita pilih sesuai keadaan-diri untuk memperkuat bargain position, yaitu: 1) Resource power ( kekayaan, kekuatan fisik, kecantikan, ketampanan, dst); 2) Position power (jabatan, kepemimpinan, pekerjaan, dst); 3) Expert Power (pengetahuan khusus, penguasaan informasi, spesialisasi, dst). Kalau tidak memiliki keseluruhan ambillah yang sebagian tetapi jangan sampai tidak memiliki bagian dari salah satu di antara ketiganya.

Senada dengan Charles, pesan bijak juga menyarankan, kalau anda ingin memimpin orang lain maka milikilah power kekayaan dan power ilmu pengetahuan. Kekayaan bisa anda jadikan senjata untuk menyelesaikan persoalan dengan orang lain dalam kategori kelas umum sedangkan ilmu pengetahuan adalah senjata yang bisa anda gunakan untuk menyelesaikan persoalan dengan orang lain dalam kategori kelas khusus.

Ketegasan

Ketegasan adalah kemampuan menyelaraskan apa yang kita putuskan di tingkat kreasi mental dengan apa yang kita lakukan (eksekusi) di tingkat kreasi fisik sesuai proses yang sudah diakarkan pada prinsip. Kreasi mental baru angka nol kalau tidak diolah berdasarkan proses yang berprinsip tidak beranak menjadi angka satu yang berkelanjutan menjadi dua, tiga dan seterusnya tetapi tetap angka nol atau hanya satu. Dalam praktek harian, hampir seluruh konsep hidup itu bagus tetapi tidak selamanya menghasilkan praktek (hasil) yang bagus. Sebabnya bukan karena tidak tahu atau tidak mampu tetapi kurang tegas dalam memperjuangkan proses menurut akar prinsip.

Ketegasan juga punya arti keputusan yang kita putuskan dengan memutuskan atau pilihan hidup yang kita tentukan dengan kesadaran memilih. Masalah pelanggaran yang kerapkali kita lakukan terhadap hukum memilih (baca: life is choice and consequence) adalah lupa atau tidak sadar bahwa kita telah menentukan pilihan. Kepada orang lain dan diri kita mungkin kita masih punya alasan untuk dimaafkan tetapi hukum sebab akibat ini sama sekali tidak punya ampun. Begitu kita memilih terlepas sadar atau tidak sadar, lupa atau ingat, maka pilihan itu secara otomatis menghasilkan konsekuensi. Begitu luasnya wilayah hidup yang tidak terjamah oleh ingatan kita maka ajaran ketuhanan menyediakan pintu di mana do’a dikatakan sebagai kekuatan untuk menunda, mengalihkan, membatalkan akibat dari pilihan yang salah tetapi di luar kontrol ingatan kita.

Kedua arti ketegasan di atas adalah kemerdekaan. Kalau kita sering menyimpang dari jalur proses yang benar maka kita akan dijajah oleh kesalahan atau kegagalan yang bertubi-tubi. Kita dibikin capek oleh nafsu bongkar-pasang konsep hidup karena praktek coba-coba bukan uji coba. Teori manajemen mengajarkan, buatlah rencana dengan cepat tetapi jangan cepat-cepat mengubah rencana kalau inspirasi untuk mengubah tidak datang dari melakukan rencana. Demikian juga kalau kita sering lupa atau tidak sadar. Agar kita selalu ingat maka langkah yang bisa kita lakukan adalah pembiasaan. Pesan bijak bilang kebiasaan melahirkan kesempurnaan. Pengulangan adalah ibu kesempurnaan.

Akhirnya, kemerdekaan ternyata tidak saja cukup dengan kita peringati tetapi perlu kita tanggapi (response) dengan pilihan untuk memerdekakan diri. Menurut kata pengamat, undangan kepada penjajahan baru adalah kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan dalam arti yang luaaas. Mari memerdekakan diri. Semoga berguna.

Category: 2 komentar

Mengenal Mekanisme Pertahanan Diri

Sebagian dari cara individu mereduksi perasaan tertekan, kecemasan, stress atau pun konflik adalah dengan melakukan mekanisme pertahanan diri baik yang ia lakukan secara sadar atau pun tidak. Hal ini sesuai dengan pendapat dikemukakan oleh Freud sebagai berikut : Such defense mechanisms are put into operation whenever anxiety signals a danger that the original unacceptable impulses may reemerge (Microsoft Encarta Encyclopedia 2002)

Freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) untuk menunjukkan proses tak sadar yang melindungi si individu dari kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan. Pada dasarnya strategi-strategi ini tidak mengubah kondisi objektif bahaya dan hanya mengubah cara individu mempersepsi atau memikirkan masalah itu. Jadi, mekanisme pertahanan diri melibatkan unsur penipuan diri.

Istilah mekanisme bukan merupakan istilah yang paling tepat karena menyangkut semacam peralatan mekanik. Istilah tersebut mungkin karena Freud banyak dipengaruhi oleh kecenderungan abad ke-19 yang memandang manusia sebagai mesin yang rumit. Sebenarnya, kita akan membicarakan strategi yang dipelajari individu untuk meminimalkan kecemasan dalam situasi yang tidak dapat mereka tanggulangi secara efektif. Tetapi karena “mekanisme pertahanan diri” masih merupakan istilah terapan yang paling umum maka istilah ini masih akan tetap digunakan.

Berikut ini beberapa mekanisme pertahanan diri yang biasa terjadi dan dilakukan oleh sebagian besar individu, terutama para remaja yang sedang mengalami pergulatan yang dasyat dalam perkembangannya ke arah kedewasaan. Dari mekanisme pertahanan diri berikut, diantaranya dikemukakan oleh Freud, tetapi beberapa yang lain merupakan hasil pengembangan ahli psikoanalisis lainnya.

Represi

Represi didefinisikan sebagai upaya individu untuk menyingkirkan frustrasi, konflik batin, mimpi buruk, krisis keuangan dan sejenisnya yang menimbulkan kecemasan. Bila represi terjadi, hal-hal yang mencemaskan itu tidak akan memasuki kesadaran walaupun masih tetap ada pengaruhnya terhadap perilaku. Jenis-jenis amnesia tertentu dapat dipandang sebagai bukti akan adanya represi. Tetapi represi juga dapat terjadi dalam situasi yang tidak terlalu menekan. Bahwa individu merepresikan mimpinya, karena mereka membuat keinginan tidak sadar yang menimbulkan kecemasan dalam dirinya. Sudah menjadi umum banyak individu pada dasarnya menekankan aspek positif dari kehidupannya. Beberapa bukti, misalnya:

1. individu cenderung untuk tidak berlama-lama untuk mengenali sesuatu yang tidak menyenangkan, dibandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan,

2. berusaha sedapat mungkin untuk tidak melihat gambar kejadian yang menyesakkan dada,

3. lebih sering mengkomunikasikan berita baik daripada berita buruk,

4. lebih mudah mengingat hal-hal positif daripada yang negatif,

5. lebih sering menekankan pada kejadian yang membahagiakan dan enggan menekankan yang tidak membahagiakan.

Supresi

Supresi merupakan suatu proses pengendalian diri yang terang-terangan ditujukan menjaga agar impuls-impuls dan dorongan-dorongan yang ada tetap terjaga (mungkin dengan cara menahan perasaan itu secara pribadi tetapi mengingkarinya secara umum). Individu sewaktu-waktu mengesampingkan ingatan-ingatan yang menyakitkan agar dapat menitik beratkan kepada tugas, ia sadar akan pikiran-pikiran yang ditindas (supresi) tetapi umumnya tidak menyadari akan dorongan-dorongan atau ingatan yang ditekan (represi)

Reaction Formation (Pembentukan Reaksi)

Individu dikatakan mengadakan pembentukan reaksi adalah ketika dia berusaha menyembunyikan motif dan perasaan yang sesungguhnya (mungkin dengan cara represi atau supresi), dan menampilkan ekspresi wajah yang berlawanan dengan yang sebetulnya. Dengan cara ini individu tersebut dapat menghindarkan diri dari kecemasan yang disebabkan oleh keharusan untuk menghadapi ciri-ciri pribadi yang tidak menyenangkan. Kebencian, misalnya tak jarang dibuat samar dengan menampilkan sikap dan tindakan yang penuh kasih sayang, atau dorongan seksual yang besar dibuat samar dengan sikap sok suci, dan permusuhan ditutupi dengan tindak kebaikan.

Fiksasi

Dalam menghadapi kehidupannya individu dihadapkan pada suatu situasi menekan yang membuatnya frustrasi dan mengalami kecemasan, sehingga membuat individu tersebut merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya dan membuat perkembangan normalnya terhenti untuk sementara atau selamanya. Dengan kata lain, individu menjadi terfiksasi pada satu tahap perkembangan karena tahap berikutnya penuh dengan kecemasan. Individu yang sangat tergantung dengan individu lain merupakan salah satu contoh pertahan diri dengan fiksasi, kecemasan menghalanginya untuk menjadi mandiri. Pada remaja dimana terjadi perubahan yang drastis seringkali dihadapkan untuk melakukan mekanisme ini.

Regresi

Regresi merupakan respon yang umum bagi individu bila berada dalam situasi frustrasi, setidak-tidaknya pada anak-anak. Ini dapat pula terjadi bila individu yang menghadapi tekanan kembali lagi kepada metode perilaku yang khas bagi individu yang berusia lebih muda. Ia memberikan respons seperti individu dengan usia yang lebih muda (anak kecil). Misalnya anak yang baru memperoleh adik,akan memperlihatkan respons mengompol atau menghisap jempol tangannya, padahal perilaku demikian sudah lama tidak pernah lagi dilakukannya. Regresi barangkali terjadi karena kelahiran adiknnya dianggap sebagai sebagai krisis bagi dirinya sendiri. Dengan regresi (mundur) ini individu dapat lari dari keadaan yang tidak menyenangkan dan kembali lagi pada keadaan sebelumnya yang dirasakannya penuh dengan kasih sayang dan rasa aman, atau individu menggunakan strategi regresi karena belum pernah belajar respons-respons yang lebih efektif terhadap problem tersebut atau dia sedang mencoba mencari perhatian

Menarik Diri

Reaksi ini merupakan respon yang umum dalam mengambil sikap. Bila individu menarik diri, dia memilih untuk tidak mengambil tindakan apapun. Biasanya respons ini disertai dengan depresi dan sikap apatis.

Mengelak

Bila individu merasa diliputi oleh stres yang lama, kuat dan terus menerus, individu cenderung untuk mencoba mengelak. Bisa saja secara fisik mereka mengelak atau mereka akan menggunakan metode yang tidak langsung.

Denial (Menyangkal Kenyataan)

Bila individu menyangkal kenyataan, maka dia menganggap tidak ada atau menolak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka sadari sepenuhnya) dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri. Penyangkalan kenyataan juga mengandung unsur penipuan diri.

Fantasi

Dengan berfantasi pada apa yang mungkin menimpa dirinya, individu sering merasa mencapai tujuan dan dapat menghindari dirinya dari peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan, yang dapat menimbulkan kecemasan dan yang mengakibatkan frustrasi. Individu yang seringkali melamun terlalu banyak kadang-kadang menemukan bahwa kreasi lamunannya itu lebih menarik dari pada kenyataan yang sesungguhnya. Tetapi bila fantasi ini dilakukan secara proporsional dan dalam pengendalian kesadaraan yang baik, maka fantasi terlihat menjadi cara sehat untuk mengatasi stres, dengan begitu dengan berfantasi tampaknya menjadi strategi yang cukup membantu

Rasionalisasi

Rasionalisasi sering dimaksudkan sebagai usaha individu untuk mencari-cari alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilakunya yang buruk. Rasionalisasi juga muncul ketika individu menipu dirinya sendiri dengan berpura-pura menganggap yang buruk adalah baik, atau yang baik adalah yang buruk.

Intelektualisasi

Apabila individu menggunakan teknik intelektualisasi, maka dia menghadapi situasi yang seharusnya menimbulkan perasaan yang amat menekan dengan cara analitik, intelektual dan sedikit menjauh dari persoalan. Dengan kata lain, bila individu menghadapi situasi yang menjadi masalah, maka situasi itu akan dipelajarinya atau merasa ingin tahu apa tujuan sebenarnya supaya tidak terlalu terlibat dengan persoalan tersebut secara emosional. Dengan intelektualisasi, manusia dapat sedikit mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak menyenangkan bagi dirinya, dan memberikan kesempatan pada dirinya untuk meninjau permasalah secara obyektif.

Proyeksi

Individu yang menggunakan teknik proyeksi ini, biasanya sangat cepat dalam memperlihatkan ciri pribadi individu lain yang tidak dia sukai dan apa yang dia perhatikan itu akan cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan karena dia harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya sendiri. Dalam hal ini, represi atau supresi sering kali dipergunakan pula.

Category: 0 komentar

Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja

Masa remaja dikenal dengan masa storm and stress dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21 tahun) terdapat beberapa fase (Monks, 1985), fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun) masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun) dan diantaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. Fase pubertas ini berkisar dari usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 16 tahun (Hurlock, 1992) dan setiap individu memiliki variasi tersendiri. Masa pubertas sendiri berada tumpang tindih antara masa anak dan masa remaja, sehingga kesulitan pada masa tersebut dapat menyebabkan remaja mengalami kesulitan menghadapi fase-fase perkembangan selanjutnya. Pada fase itu remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi.

Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya.

Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.

Apa Sih Kecerdasan Emosional

Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.

Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).

Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat.

Goleman (1995) mengungkapkan 5 (lima) wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :

Mengenali emosi diri

Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah.

Mengelola emosi

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila : mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.

Memotivasi diri

Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut : a) cara mengendalikan dorongan hati; b) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; c) kekuatan berfikir positif; d) optimisme; dan e) keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.

Mengenali emosi orang lain

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

Membina hubungan dengan orang lain

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan semacam inilah yang menyebabkan seseroang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan.

Dengan memahami komponen-komponen emosional tersebut diatas, diharapkan para remaja dapat menyalurkan emosinya secara proporsional dan efektif. Dengan demikian energi yang dimiliki akan tersalurkan secara baik sehingga mengurangi hal-hal negatif yang dapat merugikan masa depan remaja dan bangsa ini. Semoga.

Category: 0 komentar